Guadalupe adalah pohon terakhir yang hidup di hutan kami. Iya, yang terakhir.
Betul-betul yang terakhir!. Memang, sejak datangnya agama baru di kampung kami,
satu persatu warga tak lagi datang ke tengah hutan untuk menghampiri dan
membersihkannya. Tak ada sesaji lagi, buah dan sagu yang bertengger setiap pagi
di bawah dahan rindangnya pun sama.
Sebab dalam dongeng yang dikisahkan oleh pembawa agama baru itu, pohon-pohon
besar yang ada di tengah hutan itu hanyalah pohon yang berusia ratusan tahun.
Sama-sama mahluk tuhan. Bahkan kabarnya suka dihuni oleh setan, wewe gombel,
jin ifrit, hantu hutan, dan segala jenis jembalang. Itu kata mereka. Maka itu
lah akhirnya lambat laun warga jarang mendatangi pohon-pohon di tengah hutan
lebat, di belakang kampung kami.
“Pohon-pohon itu diciptakan untuk menopang kehidupan manusia di dunia. Daun dan
ranting bisa diambil. Pendek kata dari akar sampai pucuk ada gunanya,” kata
pemuka agama baru yang dari hari kehari semakin banyak pengikutnya.
Awalnya hanyak belukar yang tumbuh di sekitar pohon-pohon besar di tengah hutan
itu. Namun pada akhirnya, ada juga satu dua penduduk yang berani menebang
pohon-pohon yang sudah berusia ratusan tahun itu. Satu pohon dua pohon,
lama-lama se hektar sudah pohon-pohon yang dulu dikeramatkan itu ditebang.
Habis, gundul, botak. Seperti kepala cukong yang suatu hari datang ke kampung
kami sambil menawarkan kepada orang-orang desa pekerjaan baru; merambah dan